Follow Us @soratemplates

Jumat, 23 Februari 2018

Apakah anak bercerita selalu jujur?

Sebenarnya kalau ada anggapan kalau anak selalu jujur dan polos. Ada benarnya dan juga tidaknya. Tergantung situasi, tetapi sekarang zamannya mulai berbeda.

Nilai kejujuran mulai terkikis. Bukan hanya orang dewasa tetapi juga menimpa anak-anak. Ada beberapa alasanya anak bisa tidak jujur, seperti : ingin melindungi diri sendiri, ketakutan, melindungi teman dll.

Perlu yang kita ketahui, anak-anak adalah pribadi yang imajinatif, emosi yang tak beraturan dan seniman yang hebat.

Setiap harinya di sekolah. Saya seringkali mendengarkan cerita anak-anak yang bercerita tentang temannya, orang tuanya, kelebihan dirinya dan lain sebagainya.

Apabila saya perhatikan, sangat tipis perbedaan jujur dan berbohong saat anak-anak bercerita. Ekspresinya benar-benar mendalami ceritanya. Perlu kita ketahui anak-anak adalah orang yang gampang sekali dipengaruhi oleh omongan orang lain.

Jadi, tugas kita sebagai orang dewasa adalah harus membedakan mana yang HOAX ataupun yang benar.

Adapun sikap kita saat mendengarkan cerita anak adalah.

1. Netral

Bersikap netral adalah bertindak secara profesional terhadap apapun cerita yang kita dengarkan. Jangan terpancing emosi dan bicarakan baik-baik

Saat anak-anak mulai bercerita biasanya saya akan melakukan pertanyaan silang baik kepadanya ataupun kepada temannya.

Dalam menulis kita belajar point of view. Dalam mendengarkan kita juga harus banyak memandang dari beberapa sudut pandang dan berikan kesimpulan yang bijaksana.

2. Bertanya seolah kita berada di TKP

Kadang kala saat anak merasa bahwa dia satu-satunya yang tahu masalahnya ia akan gampang terbawa suasana sehingga ceritanya menjadi "ngaler ngidul"

3. Jangan menyalahkan siapapun

Ini masih ada hubungannya dengan netral, tetapi lebih ke sikap kita ke hasilnya. Seringkali saat kita menyatakan dukungan atau menyalahkan itu menjadi menyebar diantara anak-anak. Dan seperti mempunyai "backing" sehingga anak-anak merasa lebih berani ke lawannya. Bukannya selesai masalahnya tetapi malah bertambah karena emosi yang sering loncat-loncatan.

4. Hati-hati kepada anak yang mentalnya "aku si korban"

memang benar ada beberapa anak jadi korban bullying , tetapi ada beberapa anak yang memang sensitif. Jadi, apapun lingkungan lakukan, akan terasa salah dimata dia. Sehingga, membingungkan guru ataupun teman sekitarnya.

Anak tipe sensitif. Kadang-kadang mempunyai backing yang kuat. Berdasarkan pengalaman saya sebagai guru. Anak tipe ini karena sudah biasa di istimewakan semenjak dirumah. Di sekolah biasanya ia akan membuat semacam tembok. Awalnya  ia akan kesulitan beradaptasi. Seringkali temannya  ingin bercanda, tetapi ditanggapi serius oleh dia.

Akibatnya ia akan mengundang temannya untuk menjahilinya karena sifatnya yang kurang bisa beradaptasi.

5. Ajarkan mereka memecahkan masalahnya sendiri.

Anak belajar matematika di sekolah. Bukan hanya untuk belajar berhitung, tetapi ada pesan penting di dalamnya yaitu "anak belajar memecahkan masalahnya sendiri"

Kadangkala saya diminta untuk memarahi salah satu murid karena kesalahannya.

Kalau masalahnya sampai memukul atau menyebabkan kecelakan bisa saya peringati.

Tetapi kalau anak itu diperingati karena ia berusaha bersosialisasi dengan caranya. Sepertinya lebih tepat bukan memarahi, tetapi di ajarkan mental yang survive.

Anak yang lahir di zaman sekarang 2010 dst adalah zaman penuh gejolak. Kita tak bisa mengajarkan semua masalah akan selesai apabila orang tua ataupun guru akan turun tangan.

Disekolah anak-anak belajar bukan hanya akademik, tetapi juga bersosialisasi.

Ubahlah mindset "saya korban" menjadi saya bisa. Menurut pandangan saya sebagai guru seperti itu lebih penting mengubah mindset anak terlebih dahulu. Mental yang kuat akan menjadi bekal yang hebat dimasa depan.

ODOPbatch5#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan berlebihan memuja orang.

Hy sahabat onlineku. Kita ketemu lagi di catatan Aisyah. Ok guys disini aku mau curhat aja. Ternyata mental inlander ada di dalam diriku.  ...